Pasca memburuknya hubungan Indonesia – Amerika Serikat, serta-merta buruk pula perlakuan pers Negeri Paman Sam terhadap Sang Proklamator. Padahal, dalam lawatan Bung Karno ke Amerika tahun 1956, disebut-sebut sebagai lawatan pertama yang mengesankan. Rakyat Amerika begitu antusias menyambutnya. Pers Amerika begitu ramah menyapa. Bung Karno pun berbesar hati menerimanya.
Sampailah pada suatu acara yang sesungguhnya menyenangkan, tetapi kemudian diplintir menjadi malapetaka. Dalam suatu jamuan bersama staf kedutaan dan sejumlah tamu, Bung Karno sempat bercengkerama dengan anak-anak, ibu-ibu, dan para tamu. Bahkan sempat pula melakukan shalat berjamaah. Semua aktivitas dilakukan dengan begitu lancar dan menggembirakan banyak pihak.
Tibalah pada satu momen yang sungguh mengejutkan, manakala tiba-tiba pembawa acara mengumumkan mata acara selanjutnya berupa tari-tarian erotis. Memang tidak bisa dibilang tari striptease karena sama sekali tidak telanjang bulat. Tapi untuk zaman itu, tari setengah telanjang sungguh “ajaib”, terlebih bagi mata bangsa Indonesia. Jangan-jangan, Bung Karno juga baru pertama kali itu menyaksikan tari-tarian erotis setengah telanjang.
Sampailah pada suatu acara yang sesungguhnya menyenangkan, tetapi kemudian diplintir menjadi malapetaka. Dalam suatu jamuan bersama staf kedutaan dan sejumlah tamu, Bung Karno sempat bercengkerama dengan anak-anak, ibu-ibu, dan para tamu. Bahkan sempat pula melakukan shalat berjamaah. Semua aktivitas dilakukan dengan begitu lancar dan menggembirakan banyak pihak.
Tibalah pada satu momen yang sungguh mengejutkan, manakala tiba-tiba pembawa acara mengumumkan mata acara selanjutnya berupa tari-tarian erotis. Memang tidak bisa dibilang tari striptease karena sama sekali tidak telanjang bulat. Tapi untuk zaman itu, tari setengah telanjang sungguh “ajaib”, terlebih bagi mata bangsa Indonesia. Jangan-jangan, Bung Karno juga baru pertama kali itu menyaksikan tari-tarian erotis setengah telanjang.
Yang lebih gila adalah, audiens tidak hanya manusia dewasa, tetapi banyak anak-anak di situ! Karuan saja dalam acara itu, Bung Karno harus kerepotan menutupi mata anak-anak sambil tertawa-tawa…. Maksudnya jelas, tari-tarian setengah telanjang itu bukan untuk ditonton anak-anak. Apa boleh buat, apa pun kejadiannya acara itu toh tetap berlangsung dalam ingar-bingar suasana keceriaan. Sejatinya, acara itu tak lebih dari sebuah intermezo.
Siapa sangka kejadian intermezo itu menjadi alat pukul bagi Bung Karno ketika hubungannya dengan Amerika memanas. Pers Amerika Serikat menjadikan Bung Karno sebagai bulan-bulanan. Bahkan suatu hari Bung Karno menerima kiriman majalah remaja terbitan Amerika Serikat. Gilanya… pada cover majalah ditampilkan gadis setengah telanjang, yang tak lain dan tak bukan adalah seorang penari striptease, disandingkan dengan foto Bung Karno yang berseragam militer lengkap.
Siapa sangka kejadian intermezo itu menjadi alat pukul bagi Bung Karno ketika hubungannya dengan Amerika memanas. Pers Amerika Serikat menjadikan Bung Karno sebagai bulan-bulanan. Bahkan suatu hari Bung Karno menerima kiriman majalah remaja terbitan Amerika Serikat. Gilanya… pada cover majalah ditampilkan gadis setengah telanjang, yang tak lain dan tak bukan adalah seorang penari striptease, disandingkan dengan foto Bung Karno yang berseragam militer lengkap.
Sungguh sebuah pencitraan buruk yang keterlaluan. Karena dua foto itu jelas dua foto yang berbeda, ditangkap oleh kamera yang berbeda, dan terjadi pada dua peristiwa yang berbeda. Potongan kedua foto dan menyandingkannya menjadi satu, sungguh sebuah perbuatan diskredit yang keji yang dilakukan pers Amerika terhadap Bung Karno. Ada kesan yang hendak ditampilkan, bahwa Bung Karno berdiri berhadapan dengan penari striptease dalam satu frame. Bisa juga diartikan, seorang penari telanjang sedang mencopoti pakaiannya di hadapan Presiden Republik Indonesia, Ir. Sukarno.
Pers selalu saja menjadi alat yang efektif untuk membentuk opini publik. Termasuk dalam mencitrakan Bung Karno sebagai presiden berselera rendah, termasuk satu di antaranya gemar nonton striptease. Ini sungguh tidak benar. Terlebih bahwa kedua foto itu diambil dalam dua peristiwa berbeda. Dan kisah Bung Karno menyaksikan tari-tarian erotis di Kedutaan Besar Indonesia di Washington pun, tidak serendah yang digambarkan pers Amerika tadi.
Bung Karno tentu meradang dengan sikap permusuhan yang ditunjukkan pers Amerika (atas arahan pemerintahnya). Sehingga dalam banyak kesempatan, momen seperti itu bukannya disembunyikan oleh Bung Karno, melainkan malah diangkat ke permukaan. Dan ia pun berstatemen, “Apakah aku harus mencintai Amerika, kalau ia melakukan perbuatan seperti itu terhadap diriku?”
Pers selalu saja menjadi alat yang efektif untuk membentuk opini publik. Termasuk dalam mencitrakan Bung Karno sebagai presiden berselera rendah, termasuk satu di antaranya gemar nonton striptease. Ini sungguh tidak benar. Terlebih bahwa kedua foto itu diambil dalam dua peristiwa berbeda. Dan kisah Bung Karno menyaksikan tari-tarian erotis di Kedutaan Besar Indonesia di Washington pun, tidak serendah yang digambarkan pers Amerika tadi.
Bung Karno tentu meradang dengan sikap permusuhan yang ditunjukkan pers Amerika (atas arahan pemerintahnya). Sehingga dalam banyak kesempatan, momen seperti itu bukannya disembunyikan oleh Bung Karno, melainkan malah diangkat ke permukaan. Dan ia pun berstatemen, “Apakah aku harus mencintai Amerika, kalau ia melakukan perbuatan seperti itu terhadap diriku?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar