Dilihat dari KBBI, Hipokrit diartikan munafik , orang yang berpura-pura. Tapi, yang aku bingung, kenapa Hipokrit bisa dianggap sebagai wabah penyakit jiwa dalam ilmu kejiwaan. Bukankah pada dasarnya emang hidup manusia sering berada dalam keadaan kemunafikan/ kepura-puraan / dengan topeng? Saat kita akan mencapai sesuatu atau mendapatkan sesuatu atau menyenangkan seseorang ,mungkin sifat ini otomatis akan muncul dengan sendirinya. Sejauh mana kemunafikan itu bisa dikatakan sebagai suatu penyakit jiwa ?
Dalam kamus Oxford Advanced Learner’s, kata “Hypocrite” didefinisikan sebagai “a person who pretends to have moral standards or opinions that they do not actually have (hipokrit adalah orang yang berpura-pura mempunyai standar/patokan moral atau opini yang sebenarnya tidak dimilikinya). Disederhanakan sebagai orang yang mempunyai perbedaan antara apa yang dikatakannya dengan perbuatan aktualnya. Sosok atau figur manusia hipokrit, dalam pandangan ilmu jiwa modern, adalah sosok yang sedang sakit. Cirinya : - Ia mendustai dirinya dengan menggunakan kedok dan memperdaya orang lain dengan tujuan orang lain menerima dan menghargainya , bisa menyebar fitnah dan gelisah melihat orang lain melebihi dia dan mendapatkan kebaikan / keuntungan , plin plan dan punya sifat menonjol cari muka ( bersifat ulitarian )
.
Pemicu utama munculnya sifat hipokrit ini, misalnya “cari muka”, sebagaimana dituturkan pakar ilmu jiwa, adalah karena takut dan tamak. Mencari muka merupakan penyakit jiwa dan sosial yang berkembang subur bagaikan wabah penyakit di tengah masyarakat dalam era/masa kemunduran. yaitu masa di mana banyak orang yang malah menjauhi dan mengendorkan pegangannya terhadap agamanya.
Dalam konteks agama islam hipokrit dikenal dengan sebutan riya', riya adalah berbuat kebaikan dengan maksud pamer kepada manusia agar orang mengira dan memujinya sebagai orang yang baik atau gemar beribadah seperti shalat, puasa, sedekah, dan sebagainya.
Ciri-ciri riya:
Orang yang riya berciri tiga, yakni apabila di hadapan orang dia giat tapi bila sendirian dia malas, dan selalu ingin mendapat pujian dalam segala urusan. Sedangkan orang munafik ada tiga tanda yakni apabila berbicara bohong, bila berjanji tidak ditepati, dan bila diamanati dia berkhianat. (HR. Ibnu Babawih).
Orang yang riya’, maka amal perbuatannya sia-sia belaka.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia” [QS. Al-Baqarah: 264]
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, yang berbuat karena riya” [Al Maa’uun 4-6]
Riya membuat amal sia-sia sebagaimana syirik. (HR. Ar-Rabii’)
Sesungguhnya riya adalah syirik yang kecil. (HR. Ahmad dan Al Hakim)
Imam Al Ghazali mengumpamakan orang yang riya itu sebagai orang yang malas ketika dia hanya berdua saja dengan rajanya. Namun ketika ada budak sang raja hadir, baru dia bekerja dan berbuat baik untuk mendapat pujian dari budak-budak tersebut.
Nah orang yang riya juga begitu. Ketika hanya berdua dengan Allah Sang Raja Segala Raja, dia malas dan enggan beribadah. Tapi ketika ada manusia yang tak lebih dari hamba/budak Allah, maka dia jadi rajin shalat, bersedekah, dan sebagainya untuk mendapat pujian para budak. Adakah hal itu tidak menggelikan?
Dalam dunia yang serba modern ini, kecenderungan hidup masyarakat tidak dapat dipisahkan dari arus zaman yang sedang berubah.
Mereka dipaksa oleh arus itu untuk menentukan pilihan antara berdiam diri atau berkompetisi. Risikonya hanya bagi yang siap berkompetisi dan menang telah mendapatkan margin keuntungan dengan amat memuaskan. Sementara yang berdiam diri bersifat pasif menerima kenyataan yang dialaminya. Namun, ketika keduanya saling membutuhkan maka akan muncul di dalamnya dua kondisi secara bersamaan, yaitu sikap ketergantungan dengan sikap pragmatisme. Seperti sudah diketahui bahwa sikap hidup pragmatisme adalah sikap hidup tanpa landasan etik, yang terpenting baginya menerima suatu manfaat yang diuntungkan, maka perlahan lahan tapi pasti, sikap hidup pragmatisme tadi cendrung berbuat hipokrit dan bahkan dapat menghalalkan segala cara.
Kenyataan di atas merupakan bagian dari gaya hidup modern yang hingga sekarang masih merupakan persoalan yang menuntut pemecahan serius. Gaya hipokrit yang menampilkan kepura-puraan (kemunafikan) tampaknya akan menimpa kepada siapa saja yang tidak konsisten berpegang pada moral. Sikap hipokrit ini bisa saja tidak hanya menimpa pada orang biasa, tetapi juga pada orang-orang yang dipandang terhormat.
Kita masih ingat dengan pesta demokrasi yang baru baru ini dilaksanakan telah melibatkan para kandidat wakil rakyat maupun capres dan cawapresnya dengan para pendukungnya yang datang dari berbagai latar belakang. Bahkan turut serta di dalamnya beberapa komponen tokoh agama. Dari pengamatan sepintas, sebagian para tokoh yang terlibat memang terdapat yang sungguh-sungguh bekerja untuk pemilu demi nasib rakyat dalam membangun negara. Akan tetapi, perkembangan berikutnya tedapat gejala perilaku yang tidak proporsional dari sebagian mereka, yaitu dengan mengadakan pekerjaan tiba-tiba yang sebelumnya bukan merupakan bagian dari habitat kehidupannya. Mereka mengunjungi desa-desa menyapa masyarakat dengan bermuka teduh dan senyum simpul untuk memberikan sumbangan ke masjid dan pesantren-pesantren. Masyarakat pun bergembira mendapat perhatian dan segera berharap pada mereka (para kandidat dan tokoh tokoh pendukung) untuk konsisten membantu memenuhi aspirasinya.
Namun, harapan tinggal harapan, masyarakat pada akhirnya kecewa karena para tokoh tadi tidak lagi konsisten memenuhi aspirasi masyarakat. Para tokoh itu bersemangat membantu masyarakat sebatas masih punya kepentingan, tetapi setelah kepentingan para tokoh berakhir dengan mencapai kedudukan puncak, masyarakat ditinggal tidak dipedulikan lagi. Mrereka (para tokoh) kembali menekuni habitatnya semula yaitu menjauhi masyarakat dengan sifat-sifat tidak sosial dan arogannya. Jadi, jelaslah kedekatan para tokoh tadi dengan masyarakat salami ini hanya untuk menunjukkan sikap kemunafikan dan kepura-puraan (hipokrit). Sementara masyarakat sendiri secara tidak lansung telah didik oleh para tokoh tersebut untuk bersikap paragmatis dalam memenuhi kepentingannya.Sumber
Dalam kamus Oxford Advanced Learner’s, kata “Hypocrite” didefinisikan sebagai “a person who pretends to have moral standards or opinions that they do not actually have (hipokrit adalah orang yang berpura-pura mempunyai standar/patokan moral atau opini yang sebenarnya tidak dimilikinya). Disederhanakan sebagai orang yang mempunyai perbedaan antara apa yang dikatakannya dengan perbuatan aktualnya. Sosok atau figur manusia hipokrit, dalam pandangan ilmu jiwa modern, adalah sosok yang sedang sakit. Cirinya : - Ia mendustai dirinya dengan menggunakan kedok dan memperdaya orang lain dengan tujuan orang lain menerima dan menghargainya , bisa menyebar fitnah dan gelisah melihat orang lain melebihi dia dan mendapatkan kebaikan / keuntungan , plin plan dan punya sifat menonjol cari muka ( bersifat ulitarian )
.
Pemicu utama munculnya sifat hipokrit ini, misalnya “cari muka”, sebagaimana dituturkan pakar ilmu jiwa, adalah karena takut dan tamak. Mencari muka merupakan penyakit jiwa dan sosial yang berkembang subur bagaikan wabah penyakit di tengah masyarakat dalam era/masa kemunduran. yaitu masa di mana banyak orang yang malah menjauhi dan mengendorkan pegangannya terhadap agamanya.
Dalam konteks agama islam hipokrit dikenal dengan sebutan riya', riya adalah berbuat kebaikan dengan maksud pamer kepada manusia agar orang mengira dan memujinya sebagai orang yang baik atau gemar beribadah seperti shalat, puasa, sedekah, dan sebagainya.
Ciri-ciri riya:
Orang yang riya berciri tiga, yakni apabila di hadapan orang dia giat tapi bila sendirian dia malas, dan selalu ingin mendapat pujian dalam segala urusan. Sedangkan orang munafik ada tiga tanda yakni apabila berbicara bohong, bila berjanji tidak ditepati, dan bila diamanati dia berkhianat. (HR. Ibnu Babawih).
Orang yang riya’, maka amal perbuatannya sia-sia belaka.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia” [QS. Al-Baqarah: 264]
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, yang berbuat karena riya” [Al Maa’uun 4-6]
Riya membuat amal sia-sia sebagaimana syirik. (HR. Ar-Rabii’)
Sesungguhnya riya adalah syirik yang kecil. (HR. Ahmad dan Al Hakim)
Imam Al Ghazali mengumpamakan orang yang riya itu sebagai orang yang malas ketika dia hanya berdua saja dengan rajanya. Namun ketika ada budak sang raja hadir, baru dia bekerja dan berbuat baik untuk mendapat pujian dari budak-budak tersebut.
Nah orang yang riya juga begitu. Ketika hanya berdua dengan Allah Sang Raja Segala Raja, dia malas dan enggan beribadah. Tapi ketika ada manusia yang tak lebih dari hamba/budak Allah, maka dia jadi rajin shalat, bersedekah, dan sebagainya untuk mendapat pujian para budak. Adakah hal itu tidak menggelikan?
Dalam dunia yang serba modern ini, kecenderungan hidup masyarakat tidak dapat dipisahkan dari arus zaman yang sedang berubah.
Mereka dipaksa oleh arus itu untuk menentukan pilihan antara berdiam diri atau berkompetisi. Risikonya hanya bagi yang siap berkompetisi dan menang telah mendapatkan margin keuntungan dengan amat memuaskan. Sementara yang berdiam diri bersifat pasif menerima kenyataan yang dialaminya. Namun, ketika keduanya saling membutuhkan maka akan muncul di dalamnya dua kondisi secara bersamaan, yaitu sikap ketergantungan dengan sikap pragmatisme. Seperti sudah diketahui bahwa sikap hidup pragmatisme adalah sikap hidup tanpa landasan etik, yang terpenting baginya menerima suatu manfaat yang diuntungkan, maka perlahan lahan tapi pasti, sikap hidup pragmatisme tadi cendrung berbuat hipokrit dan bahkan dapat menghalalkan segala cara.
Kenyataan di atas merupakan bagian dari gaya hidup modern yang hingga sekarang masih merupakan persoalan yang menuntut pemecahan serius. Gaya hipokrit yang menampilkan kepura-puraan (kemunafikan) tampaknya akan menimpa kepada siapa saja yang tidak konsisten berpegang pada moral. Sikap hipokrit ini bisa saja tidak hanya menimpa pada orang biasa, tetapi juga pada orang-orang yang dipandang terhormat.
Kita masih ingat dengan pesta demokrasi yang baru baru ini dilaksanakan telah melibatkan para kandidat wakil rakyat maupun capres dan cawapresnya dengan para pendukungnya yang datang dari berbagai latar belakang. Bahkan turut serta di dalamnya beberapa komponen tokoh agama. Dari pengamatan sepintas, sebagian para tokoh yang terlibat memang terdapat yang sungguh-sungguh bekerja untuk pemilu demi nasib rakyat dalam membangun negara. Akan tetapi, perkembangan berikutnya tedapat gejala perilaku yang tidak proporsional dari sebagian mereka, yaitu dengan mengadakan pekerjaan tiba-tiba yang sebelumnya bukan merupakan bagian dari habitat kehidupannya. Mereka mengunjungi desa-desa menyapa masyarakat dengan bermuka teduh dan senyum simpul untuk memberikan sumbangan ke masjid dan pesantren-pesantren. Masyarakat pun bergembira mendapat perhatian dan segera berharap pada mereka (para kandidat dan tokoh tokoh pendukung) untuk konsisten membantu memenuhi aspirasinya.
Namun, harapan tinggal harapan, masyarakat pada akhirnya kecewa karena para tokoh tadi tidak lagi konsisten memenuhi aspirasi masyarakat. Para tokoh itu bersemangat membantu masyarakat sebatas masih punya kepentingan, tetapi setelah kepentingan para tokoh berakhir dengan mencapai kedudukan puncak, masyarakat ditinggal tidak dipedulikan lagi. Mrereka (para tokoh) kembali menekuni habitatnya semula yaitu menjauhi masyarakat dengan sifat-sifat tidak sosial dan arogannya. Jadi, jelaslah kedekatan para tokoh tadi dengan masyarakat salami ini hanya untuk menunjukkan sikap kemunafikan dan kepura-puraan (hipokrit). Sementara masyarakat sendiri secara tidak lansung telah didik oleh para tokoh tersebut untuk bersikap paragmatis dalam memenuhi kepentingannya.Sumber