ANDA yang mencandu sinetron Indonesia pasti sudah lama menyadarinya.
Yang tak suka sinetron pasti sudah lama pula tak menyukainya.
Yang saya maksud adalah momen saat kamera close-up menyorot wajah sang tokoh. Biasanya matanya mendelik-delik, bibirnya bergerak-gerak. Sang tokoh di sinetron itu diam selama beberapa saat tak mengucap sepatah kata pun.
Tapi anehnya, kita, penonton mendengar suara si tokoh. Ia berkata begini begitu, akan melakukan ini dan itu. Apa yang ada di benaknya kita tahu tanpa perlu membaca pikirannya. Ia mengungkap isi hatinya keras-keras.
Itulah voice over alias omong sendiri yang menjamur di jagat persinetronan kita. Rasanya sulit melihat sinetron yang bersih dari voice over. Hampir semuanya menyuguhkan tokoh yang bicara sendiri bahkan sampai berpanjang-panjang, membuat kita berpikir apa di kehidupan nyata ada orang yang ngomong dalam hati sepanjang itu.
Nah, tahukah Anda mengapa adegan voice over bertebaran di sinetron kita?
Sebetulnya, voice over bukan monopoli medium sinetron. Film layar lebar pun kerap pula menggunakannya untuk mengisahkan sudut pandang sang tokoh. Tapi, bila di film voice over digunakan sebagai narasi pengantar cerita, di sinetron kita, voice over lebih sering digunakan untukmenjelas-jelaskan maksud cerita maupun motif tokohnya.
Mengapa demikian? Sebelum menjawabnya, ijinkan saya menjelaskan dari mana tradisi voice over di sinetron ini berasal.
Jika ditelisik, model voice over yang menjelas-jelaskan isi cerita sudah diadopsi medium komik sejak lama. Dalam komik kita mengenal istilah balon kata untuk menyebut tempat ucapan tokoh komik. Ada beragam bentuk balon kata. Yang bentuknya bulat/lonjong biasanya ntuk menunjukkan kata-kata yang diucapkan selayaknya orang biasa bicara. Balon kata berbentuk persegi dengan ujung runcing-runcing, biasanya menunjukkan teriakan. Sedang balon kata berbentuk awan bergelembung-gelembung, menunjukkan ucapan isi hati si tokoh.
Seorang teoritisasi komik Scott McCloud menyebut balon kata menunjukkan isi hati tokohnya sebagai “sari-sari pikiran” sang tokoh (Understanding Comics, edisi Indonesia 2001).
Balon kata sari-sari pikiran paling sering muncul dalam tradisi komik Barat (baca: Amerika). Dalam komik Amerika, setiap panel seringkali merupakan gambar rekaman satu adegan hingga harus mencakup semua hal yang ingin diceritakan. Tradisi komik Jepang paling jarang memakai balon kata karena satu panel adalah rangkaian dari sebuah adegan yang bersambungan dengan panel di sebelahnya.
Pendek kata, jika model komik Amerika merekam adegan dalam satu panel, komik Jepang menyajikan dalam beberapa panel.
Komik Indonesia di era 1970-an hingga 1980-an banyak mengadopsi gaya bertutur Barat hingga banyak balon kata isi pikiran bertebaran. Apalagi bila komik masa itu yang membagi satu halaman hanya ke dalam 2 panel. Ini menuntut setiap panel menjelaskan maksudnya sejelas-jelasnya.
Dengan demikian, membaca pikiran sang tokoh bukanlah ha lasing bagi orang Indonesia.
Tapi, haruskah metode dalam komik diadopsi mentah-mentah ke dalam sinetron?
Komik dan sinetron dua medium berbeda. Balon kata isi pikiran dibutuhkan karena komik bukanlah gambar bergerak. Dalam komik, satu panel dituntut menjelaskan isi cerita pada pembaca.
Sedang sinetron adalah turunan dari seni gambar-bergerak. Mengadopsi cara komik yang statis ke medium gambar-bergrak sesungguhnya menunjukkan satu hal: pembuatnya tak piawai menyajikan bahasa gambar sampai tokohnya diberi beban menjelaskan maksud ceritanya.
Pada titik ini, voice over berarti cara gampang yang diambil pembuat sinetron. Tanpa perlu repot-repot syut adegan anu dan anu, cukup memberi voice over pada tokohnya, diharapkan sudah cukup menjelaskan ceritanya.
Seorang penulis skenario suatu kali menjelaskan lewat akun Twitter-nya, adegan voice over seringkali datang dari permintan produser. Sang produser yang justru minta adegan omong sendiri diperbanyak.
“Alasan produser penonton Indonesia belum bisa mengerti apa yang ada di pikiran karakter, karenanya perlu dijelaskan lewat voice over. Semakin banyak voice over, diharapkan semakin banyak penonton mengerti apa yang ada di dalam pikiran si tokoh,” tulis sang penulis skenario.
Wah, jika begitu alasannya sama saja produser menganggap penonton sinetron Indonesia bodoh-bodoh karena seolah tak bisa mengerti makna gambar bergerak.Semoga menambah wawasan kita semua.
Sumber
0 Comments