Majelis Ulama Indonesia melihat banyak ulama yang tidak
berkompeten dan berintegrasi tampil menjadi penceramah agama di
televisi.
"Harunysa kualitas dan validitas serta
keteladanan juru dakwah diperhitungkan," kata Wakil Ketua Tim Pemantau
TV Ramadan 1431 H dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Imam Suhardjo di
Kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, Senin, 6 Agustus 2012.
Imam
mengatakan, banyak tayangan komedi yang berujung pada makian atau
melecehkan individu atau sekelompok orang. Ia prihatin, sebagian
penceramah agama itu justru larut di skenario komedi.
Imam
mencontohkan tayangan di Indosiar ketika Inul Daratista mengatakan "Pak
saya nggak mandul lho, buktinya saya punya anak." Kemudian, ustadz
menanggapi dengan perkataan "Lagian bukannya dibor malah ngebor."
Menurut
Imam, pernyataan ini justru merendahkan seorang ustadz. Ia juga
menyayangkan ustadz lain di Trans TV yang juga ikut ambil bagian waktu
joget bersama secara berlebihan.
Imam mencermati, banyak
dai yang menyampakan riwayat keagamaan dengan akurasi yang rendah.
"Menggunakan hadis yang tidak sahih," kata Imam. Ia berharap para
penceramah terus berusaha meningkatkan kompetensinya sebagai ustadz.
Menurut Imam, ustadz yang mempunyai kompetensi bisa dilihat dari segi
kognitif, afektif dan psikomotorik. Kognitif, artinya ustadz mempunyai
pengetahuan agama yang mumpuni. Afektif, ustadz mempunyai kemampuan
mengaitkankan ajaran-ajaran agama dengan permasalahan sehari-hari.
Sedangkan psikomotorik, ustadz itu mempunyai kehidupan atau perbuatan
yang terpuji.
"Kalau tidak ada ketiga itu, berarti tidak
layak disebut ustadz," ujar Imam. Ia berharap stasiun televisi lebih
berhati-hati memilih penceramah. Televisi dihimbau untuk lebih
mengutamakan kompetensi diatas unsur selebritas.
sumber
2 Comments