SALAH satu tayangan sampah di televisi adalah reality show atau yang
sekarang disebut reality drama. Demi mengeruk iklan alias keuntungan,
stasiun TV berlomba-lomba meraih penonton dengan tayangan kamuflasif
alias penuh tipuan, rekayasa, yang oleh bagi sebagian orang yang jeli
adalah penipuan publik. Namun benarkan bisa dikatakan demikian?
1. Sadar Kamera
Pemainnya yang digambarkan sebagai orang-orang sipil yang kagak sadar direkam itu ternyata
sadar kamera. Maksud saya, lihat bagaimana posisi mereka saat kamera
dengan diam-diam merekam. Sangat ketahuan betul kalau mereka hanya cast
yang diatur agar menjaga ‘titik pandang’ kamera. Semata agar terlihat
nyaman dip roses editing dan selanjutnya, menjadi sebuah produk
tayangan.
2. Produktif
Mungkin agak aneh dengan program sejenis yang bisa tayang sampai
seminggu tiga kali. Logikanya, untuk menyelidiki seseorang memang perlu
waktu lebih dari satu minggu. Begitupun seperti yang digambarkan dalam
tayangan itu. Terlihat dengan scene: hari ke satu.. hari ke delapan.
Apakah mustahil dengan format tayangan seminggu tiga kali? Sebab konon
syuting aslinya dilakukan hanya seharian penuh.
3. Format Bodoh
Dalam tayangan di TV, pembuatnya merasa format ini akan lebih meyakinkan
untuk dipercayai masyarakat. Formatnya adalah: satu, bagian pengakuan
dari klien asli. Misalnya dia mengeluh karena suaminya ML sama
pembokatnya sendiri. Di lain scene, ada juga pengakuan sang suami
lengkap dengan pembokapnya. Langkah dua: adegan peragaan yang
diibaratkan dimainkan oleh model. Jadi bukan cast di langkah pertama
yang memeragakan, melainkan cast yang lainnya. Hal ini agar format lebih
dipercayai penonton. Langkah terakhir, host-nya mulai terjun ke
lapangan untuk menuntaskan masalah tersebut. Haha! Kucing saya hamper
mampus saking banyak ketawa. Coba kamu pikir, orang bodoh macam mana
yang mampu mengurai aib-nya sendiri dengan bersedia diwawancara.
Misalnya Ariel bersedia diwawancara sementara ia dipihak ‘pendosa’ yang
melakukan zina sekaligus merekam video porno. Nah, lho. Saya nggak tahu
tayangan itu masih ada apa kagak. Sudah dua bulan saya puasa nonton TV.
6. Klimaks
Karena rekayasa, otomatis episode ini penuh dengan klimaks-klimaks ala
sinetron Indonesia. Misalnya si A adalah lelaki yang nggak peduli sama
keluarga. Belakangan pas diselidiki dia ternyata HOMO yang jual diri.
Pas diselidikin terus lewat mobil di belakang, diketahuilah si A masuk
mobil tertentu lalu selama dalam perjalanan, si A kemudian dikeluarkan
dari mobil dalam keadaan telanjang dada. Dramatis amat, woy! Si A pun
dibawa ke mobil pendetektif kemudian bertobat. Dia ngaku kalau dia habis
dirampok. Waw, padahal bodi si A gede tuh. Apa mungkin si penodong di
mobil pakai senjata api? Siapa tahu? Tapi lebih banyak, proses tobat
dalam tayangan sejenis berlangsung cepat dan tiba-tiba. Misalkan si B
anak lelaki yang di-skrip-kan suka maki-maki orang tua. Nggak lama dia akhirnya tobat dan sujud sama ibunya. Berkopiah dan berkokolah ia. Ahhaha!
7. Sound
Klien yang pura-pura nyelidikin dan nanya-nanya sumber (sementara kamera
diletakkan sembunyi-sembunyi) menempelkan microphone di bajunya. Namun
entah kenapa sang sumber menjawab dengan sangat jelas. Padahal
logikanya, sang sumber terdengar samar dan sang klien terdengar jelas.
Tanya kenapa?
8. Akting maksa
Kita pun tahu mana ekspresi yang asli dan mana ekspresi yang lebay.
Saran:
- Reality show yang dulu pernah dikecam adalah Curhat (Anjasmara) di TPI. Penuh dengan kata-kata kotor yang disensor. Salah satu cast-nya juga main di Take Him Out.
-
Hindarkan tayangan tentang mistik. Para jin kafir dan iblis akan senang kalau keberadaannya dibahas. Membuat manusia ‘semakin percaya’ pada ‘keagungan’ dunia jin dan lumayan membuat parno. Bikin tayangan realigi realitas semisal yang homo-homoan tadi. Awalnya homo, ngucing, terus tobat. Awalnya ngeganja, damprat ortu, terus tobat. Begitulah.
-
Jangan membahas masalah permasalahan seksual, apalagi di tayangkan di jam anak-anak sekolah (pagi). Meski khusus buat ibu-ibu, tapi anak-anak yang sekolah siang bisa nyimak dulu tayangan di Tv itu.
-
Tayangan di luar negeri juga rekayasa. Namun mereka mampu mengemasnya dengan sangat asli. Survivor misalnya, tayangan ketika banyak orang dibiarin hidup di pulau tertentu dan yang bertahan di sana adalah yang menang. Logikanya, mana mungkin orang-orang dibiarin kelaparan sementara kru/kameramen enak-enakan makan.